Jumat, 26 November 2010

Tarawangsa

Tarawangsa pada mulanya berarti waditra (alat musik) gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat besi atau baja, namun kemudian kata tarawangsa melebar pengertiannya menjadi satu jenis musik tradisional (kesenian) Sunda. Keberadaan tarawangsa  sudah lebih tua dari alat gesek lainnya. Naskah kuna Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik, sedangkan rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam yaitu sekitar abad ke 15-16 yang merupakan adaptasi dari alat musik gesek bangsa Arab.
Karena bentuknya yang jauh lebih tinggi dari waditra rebab, maka tarawangsa biasa disebut “Rebab Jangkung”, seperti terungkap dalam wawangsalan berikut: “Ngan bati ngarebab jangkung, Ngan bati nalangsa pikir”. Kata ”nalangsa” pada larik kedua berasosiasi dengan “tarawangsa” yang pada larik pertama disebut "rebab jangkung”.
Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya), Banjaran (Bandung), dan Kanékés (Banten Selatan). Dalam kesenian Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian.
Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi yang disebut jentréng.
Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pélog, sesuai dengan jentréngnya yang distem ke dalam laras pélog. Demikian pula repertoarnya, misalnya tarawangsa di Rancakalong (biasa disebut ngékngok) terdiri dari dua kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua berlaraskan pélog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, Pangapungan, Pamapag, Panganginan, Panimang, Lalayaran dan Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri dalam upacara adat para petani. Sedangkan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu yang tidak termasuk ke dalam lagu pokok terdiri dari Saur, Mataraman, Iring-iringan (Tonggeret), Jemplang, Limbangan, Bangun, Lalayaran, Karatonan, Degung, Sirnagalih, Buncis, Pangairan, Dengdo,  Angin-angin, Reundeu, Pagelaran, Ayun Ambing, Reundeuh Reundang, Kembang Gadung, Ondé, Legon (koromongan), dan Panglima.
Lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran terdiri dari Pangrajah, Panimang, Bajing Luncat, Pangapungan, Bojong Kaso, dan Cukleuk. Sementara lagu-lagu Tarawangsa di Cibalong terdiri dari Salancar, Ayun, Cipinangan, Mulang, Manuk Hejo, Kang Kiai, Aleuy, dan Pangungsi.
Alat musik tarawangsa terbuat dari kayu kananga, jengkol, dadap, dan kemiri. Dalam ensambel, tarawangsa berfungsi sebagai pembawa melodi (memainkan lagu), sedangkan jentréng berfungsi sebagai pengiring (mengiringi lagu). Bagian-bagian tarawangsa antara lain: batang leher panjang dari bahan kayu, rurumah berbentuk segi empat panjang, bagian depannya rata, bagian belakangnya cembung, berlubang dan berkaki di bagian bawah rurumah, tiga batang pureut, pucuk (bagian atas yang bentuknya seperti sanggul), inang dan pangeset (penggesek) yang terdiri dari batang pangeset terbuat dari kayu dan serat nenas atau bulu kuda untuk tali penggeseknya.
Pemain tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain tarawangsa dan satu orang pemain jentréng. Semua Pemain Tarawangsa terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata 50 – 60 tahunan. Mereka semuanya adalah petani, dan biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Dalam pertunjukannya  biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula Saéhu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan Saéhu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar